Mendapatkan hak atas kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, karena menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan. Kesehatan, menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009, adalah keadaan fisik, mental, spritual, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Isu kesehatan menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian signifikan di Indonesia. Pasalnya, indeks ketahanan kesehatan global Indonesia menempati peringkat ke-13 di antara negara G20 pada 2021. Mennghadapi problematika ini, pemerintah terus melakukan perbaikan di bidang kesehatan. Pada tahun 2024, anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Jumlah ini meningkat 8,1% atau Rp 13,9 triliun, dibandingkan dengan anggaran pada tahun 2023. Dalam hal ini, pajak memegang peranan penting dalam pembiayaan negara karena sekitar 80% pendapatan APBN didapatkan dari pemungutan pajak.
Salah satu program nyata pemerintah dalam hal ini adalah dengan alokasi anggaran kesehatan untuk mendukung pengadaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023), pasal 21 PPh memasukkan iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan oleh pemberi kerja sebagai objek pemotongan. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa hidup penuh ketidakpastian apalagi yang bersangkutan dengan keselamatan nyawa masyarakat. Untuk mengatasi ketidakpastian tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hadir sebagai kontijensi dengan memberikan bantuan ketika peristiwa buruk yang tidak diduga terjadi.
Namun, hal ini tidak ditopang dengan pengetahuan masyarakat terkait pentingnya pajak. Ada beberapa orang yang terus percaya bahwa pajak yang dikenakan pada bidang kesehatan hanya akan menambah beban masyarakat dan tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi mereka. Adanya beberapa kasus korupsi pejabat perpajakan (fiskus) juga semakin mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistematika perpajakan di Indonesia. Padahal pengenaan pajak di berbagai bidang khususnya bidang kesehatan memiliki beberapa manfaat yang dapat di rasakan secara langsung oleh masyarakat. Oleh karena itu, tujuan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat terkait pentingnya kontribusi pajak pada akses layanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan dalam Penghitungan PPh Pasal 21 pada hakikatnya, pembayaran iuran BPJS Kesehatan merupakan pembayaran premi asuransi kesehatan. Pasal 5 ayat (3) huruf e PMK 168/2023 menyebutkan bahwa pembayaran iuran jaminan pemeliharaan kesehatan kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan yang diumumkan oleh pemberi kerja termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. Penghasilan bruto tersebut kemudian dikenakan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk pegawai tetap, PPh Pasal 21 dihitung dengan penerapan tarif efektif sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 .
Ketentuan Umum Penghitungan BPJS merujuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, setiap peserta Pekerja Penerima Upah wajib membayar iuran BPJS Kesehatan sebesar 5% dari upah per bulan. Persentase iuran BPJS tersebut dapat ditanggung pemberi kerja (perusahaan) sebesar 4%, sedangkan 1% sisanya dibayar oleh karyawan yang bersangkutan. Gaji pokok dan tunjangan tetap menjadi dasar penghitungan iuran BPJS Kesehatan karyawan. Ini didasarkan pada skema asuransi sosial, di mana orang yang mampu membayar premi yang ditetapkan berdasarkan kelas fasilitasnya, dan pemerintah membayar orang yang tidak mampu dengan fasilitas kelas III (Hartini Retnaningsih, 2017).
Terbukti dengan menggunakan BPJS Kesehatan, masyarakat dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan lebih terjangkau. Bahkan, program BPJS mampu membantu keluarga tidak mampu untuk mendapatkan pengobatan secara gratis, yang mana tingkat kesehatan masyarakat miskin selama ini diketahui masih rendah karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang dikombinasikan dengan ketidakmampuan finansial untuk membayar biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal setiap tahunnya. Dengan adanya BPJS ini, masyarakat kurang mampu menjadi tidak kesulitan dalam akses layanan kesehatan dan mahalnya biaya pengobatan, cukup dengan menggunakan KTP untuk mengakses layanan kesehatan tanpa perlu fotokopi berkas. Lalu, akan ada alur pelayanan rujukan yang efisien dan digitalisasi pelayanan dan pengklaiman. Ini juga dapat dilihat secara empiris dari tingkat kepuasan peserta JKN, yang mencapai 89,6% pada Mei 2024, yang menunjukkan bahwa inisiatif BPJS Kesehatan bekerja dengan baik. Hasil survei tersebut memvalidasi upaya berkelanjutan untuk memenuhi ekspektasi peserta dalam hal pelayanan kesehatan yang berkualitas (Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti).