Kasus tewasnya seorang tukang ojek online akibat terlindas mobil taktis Brimob dalam sebuah aksi massa kembali membuka luka lama tentang wajah represif aparat penegak hukum di Indonesia. Tragedi ini bukan sekadar peristiwa kecelakaan, melainkan potret telanjang bagaimana negara seringkali abai terhadap keselamatan warganya ketika berhadapan dengan situasi politik atau demonstrasi yang dianggap mengganggu stabilitas.
Ungkapan klasik dari Plautus, yang dipopulerkan kembali oleh Thomas Hobbes, “Homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya), terasa relevan untuk menjelaskan fenomena ini. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru berubah menjadi “serigala” yang memangsa mereka. Alih-alih menjamin keamanan, keberadaan mobil taktis dan barisan aparat seringkali memunculkan rasa takut, bahkan ancaman nyata bagi nyawa masyarakat sipil.
Dalam kerangka Hobbesian, kekuasaan negara memang dibentuk untuk mencegah “perang semua melawan semua.”(Bellum omnium contra omnes) Namun, ketika aparat bertindak represif, hukum kehilangan rohnya sebagai pelindung. Ia berubah menjadi alat represi yang menghilangkan nilai kemanusiaan. Kematian tukang ojol ini menjadi simbol dehumanisasi, rakyat kecil yang tengah mencari nafkah justru harus meregang nyawa akibat tindakan represif yang tidak terkendali.
Tragedi ini juga memperlihatkan paradoks besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Aparat yang digaji dari uang rakyat, dan ditugaskan untuk melindungi rakyat, justru menjadi pihak yang menimbulkan korban di kalangan rakyat. Relasi negara dan warganya terdistorsi menjadi relasi predator dan mangsa. Di sini, homo homini lupus menemukan konteks nyatanya, di mana manusia tidak lagi saling melindungi, melainkan saling memangsa dalam arena kekuasaan.
Lebih dari sekadar duka, kematian ini adalah alarm keras bahwa reformasi sektor keamanan belum sepenuhnya menyentuh persoalan mentalitas aparat. Kemanusiaan yang mestinya menjadi inti dari penegakan hukum, dikorbankan atas nama stabilitas dan kekuasaan. Selama logika “serigala” masih dipelihara dalam tubuh aparat, tragedi serupa bisa saja terus berulang, dengan korban berikutnya yang mungkin tak pernah kita duga.
Kini, publik berhak menuntut pertanggungjawaban. Tidak boleh ada lagi dalih “kelalaian” atau “kecelakaan” semata, sebab setiap nyawa rakyat adalah harga yang tak ternilai. Penegakan hukum hanya akan bermakna bila aparat kembali meneguhkan jati dirinya sebagai pelindung rakyat, bukan predator bagi rakyat.
Penulis: Herman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Madura