Pendahuluan
Gonjang-ganjing dugaan ijazah palsu milik Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo terus bergulir dan kian liar menjadi konsumsi publik. Polemik ini juga memantik pernyataan eks Menko Polhukam Prof. Mahfud MD. Dalam sebagian pernyataannya, pria kelahiran Madura ini menyayangkan proses hukum keabsahan ijazah Jokowi yang digugat di peradilan perdata. Padahal menurutnya, gugatan perdata bisa dilakukan apabila ada perjanjian atau kontraktual. Sementara antara penggugat dan Jokowi sebagai tergugat belum pernah ada perjanjian.
Betulkah Gugatan Perdata Harus Lahir dari Kontraktual?
Pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD bahwa gugatan perdata hanya dapat dilakukan ketika ada perjanjian atau kontraktual, perlu dikaji ulang secara akademik. Hal ini penting agar pemahaman mengenai hukum perdata tidak menyimpang dari asas-asas dasar yang telah lama tertanam dalam sistem hukum Indonesia, yang mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam hukum perdata Indonesia, gugatan tidak selalu bersumber dari hubungan kontraktual. Secara normatif, Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan pelaku untuk mengganti kerugian tersebut. Ini merupakan dasar dari gugatan perdata yang dikenal sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang berbeda dengan wanprestasi, yaitu pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati para pihak.
Dengan demikian, pendapat Mahfud MD yang menyatakan bahwa gugatan perdata hanya dapat diajukan jika terdapat kontrak atau perjanjian merupakan penyederhanaan yang tidak sesuai dengan sistem hukum perdata yang berlaku. Pemahaman mengenai dualisme tanggung jawab perdata ini merupakan materi dasar yang telah diajarkan pada tingkat awal pendidikan hukum, tepatnya pada semester ketiga di Fakultas Hukum.
Apakah Dugaan Ijazah Palsu Bisa digugat di Pengadilan Perdata?
Pertanyaan mengenai kemungkinan pengajuan gugatan perdata dalam kasus dugaan ijazah palsu dapat dijawab secara teoritis melalui pendekatan onrechtmatige daad. Jika dapat dibuktikan bahwa tindakan pemalsuan ijazah menimbulkan kerugian kepada pihak lain (misalnya institusi, individu pesaing, atau masyarakat), maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dapat digugat secara perdata. Oleh karena itu, tidak diperlukan keberadaan perjanjian antara pelaku dan pihak yang dirugikan untuk dapat menuntut secara perdata.
Konklusi
Gugatan perdata dalam hukum Indonesia tidak hanya didasarkan pada hubungan kontraktual, tetapi juga dapat dilandasi oleh perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan demikian, klaim bahwa gugatan perdata hanya dapat diajukan jika terdapat perjanjian adalah keliru. Dalam konteks dugaan pemalsuan ijazah, gugatan perdata dapat diajukan berdasarkan kerangka hukum onrechtmatige daad apabila memenuhi unsur-unsur kerugian dan hubungan kausalitas.
Referensi:
• Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Batik, Bandar Lampung 2014, hlm. 266-268
• “Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum”, dimuat pada:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-wanprestasi-dan-perbuatan-melawan-hukum-cl2719/